Sejarah dan Asal-Usul Kota Medan: Dari Tanah Deli Hingga Kota Metropolitan
Sejarah dan Asal-Usul Kota Medan: Dari Tanah Deli Hingga Kota Metropolitan
line page
detail blink

Sejarah dan Asal-Usul Kota Medan: Dari Tanah Deli Hingga Kota Metropolitan

23 October 2023 | 07:00

Kota Medan, sebagai ibu kota Provinsi Sumatera Utara, Indonesia, merupakan salah satu kota terbesar ketiga di negara ini, setelah DKI Jakarta dan Surabaya. Kota ini memiliki sejarah yang kaya, serta kekayaan alam dan geografis yang memainkan peran penting dalam perkembangannya.


Geografi dan Kekayaan Alam Kota Medan

Secara geografis, sebagian wilayah Kota Medan terdiri dari rawa-rawa seluas sekitar 4.000 hektar dan dikelilingi oleh berbagai sungai yang semuanya bermuara ke Selat Malaka. Kota ini memiliki topografi yang relatif datar dengan ketinggian sekitar 2,5 hingga 3,75 meter di atas permukaan laut (mdpl). Kekayaan alamnya, terutama dalam bidang perkebunan dan kehutanan, telah menjadi salah satu aset utama dalam perkembangan daerah ini.


Selain kekayaan alamnya, posisi strategis Kota Medan sebagai bagian dari jalur pelayaran Selat Malaka juga telah memainkan peran penting dalam mendorong pertumbuhannya sebagai pusat perdagangan dan ekonomi. Kota ini telah menjadi pusat pemerintahan dan pusat perkembangan ekonomi sejak masa lalu.



Sejarah kota Medan (sumber: detik)


Asal-Usul Nama Kota Medan: Dari Tanah Deli hingga Kota Medan


  1. Tanah Deli: Awal Mula Nama Kota Medan

Sejarah awal Kota Medan berkaitan erat dengan nama "Tanah Deli." Pada awalnya, perkampungan Medan dibuka oleh Guru Patimpus di Tanah Deli. Di masa penjajahan, seringkali orang menggabungkan nama Medan dengan Deli, sehingga muncul istilah "Medan-Deli." Namun, seiring berjalannya waktu, istilah ini perlahan lenyap dan tidak lagi populer.


Pada tahun 1860, wilayah Medan masih sebagian besar terdiri dari hutan belantara, dengan permukiman penduduk yang berasal dari Karo dan Semenanjung Malaya di sekitar muara sungai. Namun, pada tahun 1863, Belanda mulai membuka perkebunan tembakau di Deli, yang menjadi primadona di Tanah Deli. Dengan ekspansi perkebunan ini, perekonomian daerah ini berkembang pesat, dan Medan menjadi pusat pemerintahan dan ekonomi di Sumatra Utara.


  1. Perkembangan Kampung Medan dan Tembakau Deli

Kampung kecil awal yang dikenal sebagai "Medan Putri" berlokasi di pertemuan Sungai Deli dan Sungai Babura, dekat dengan jalan Putri Hijau saat ini. Kedua sungai ini adalah jalur perdagangan yang ramai pada masa itu, yang memicu perkembangan pesat Medan Putri menjadi pelabuhan transit penting.


Semakin banyak penduduk datang ke kampung ini, dan mata pencaharian penduduk di Kampung Medan adalah pertanian, terutama budidaya lada. Pendiri Kampung Medan, Guru Patimpus, adalah sosok yang berpikiran maju dan mengutus anaknya untuk belajar membaca Al-Qur'an serta memperdalam agama Islam di Aceh.


Pada tahun 1612, dua dekade setelah berdirinya Kampung Medan, Sultan Iskandar Muda dari Aceh mengirim Panglima Gocah Pahlawan untuk mewakili Aceh di Tanah Deli. Ini merupakan langkah penting dalam memperluas wilayah kekuasaan Aceh, yang akhirnya mencakup wilayah yang sekarang menjadi Kecamatan Percut Sei Tuan dan Kecamatan Medan Deli. Hal ini menandai permulaan perkembangan Kota Medan.


Keberhasilan perkebunan tembakau, terutama tembakau Deli yang berkualitas tinggi untuk cerutu, membuat Medan semakin ramai. Karena perkembangan perdagangan tembakau yang luas, kantor perusahaan-perusahaan tembakau dipindahkan dari Labuhan ke "Medan Putri." Dengan demikian, "Kampung Medan Putri" menjadi semakin ramai dan berkembang, dan nama "Kota Medan" menjadi lebih dikenal.


  1. Legenda Kota Medan: Kisah Putri Hijau

Sebuah legenda kuno menceritakan tentang seorang putri cantik yang dijuluki "Putri Hijau" yang tinggal di Kesultanan Deli, tepatnya di Deli Tua, yang merupakan bagian dari Kampung Medan. Kecantikannya terkenal di seluruh wilayah, bahkan hingga ujung utara Pulau Jawa.


Sultan Aceh jatuh cinta pada Putri Hijau dan melamarnya untuk dijadikan permaisurinya. Namun, permintaan tersebut ditolak oleh saudara laki-laki Putri Hijau, yang menyebabkan kemarahan Sultan Aceh. Ini memicu perang antara Kesultanan Aceh dan Kesultanan Deli.


]Menurut legenda, salah satu saudara Putri Hijau berubah menjadi naga, sementara yang lain berubah menjadi meriam yang terus menembaki pasukan Aceh hingga mati. Kesultanan Deli akhirnya mengalami kekalahan dalam perang tersebut, dan Putri Hijau ditawan oleh Aceh. Namun, berkat keajaiban, Putri Hijau berhasil dibebaskan oleh saudaranya yang telah berubah menjadi naga. Legenda ini telah menjadi kisah terkenal di kalangan masyarakat Deli dan Melayu di Malaysia, yang menambahkan nuansa mistis dan keunikan dalam sejarah Kota Medan.


  1. Penjajahan Belanda di Tanah Deli

Penjajahan Belanda di Tanah Deli dimulai pada tahun 1864 dan berlangsung selama sekitar 78 tahun, hingga tahun 1942. Upaya untuk menguasai wilayah ini dimulai dengan kedatangan pasukan Belanda di Sumatra, yang memerlukan waktu sekitar 25 tahun untuk mengamankan seluruh Sumatra.


Pada tanggal 1 Februari 1858, Belanda mendesak Sultan Ismail untuk menandatangani perjanjian yang menandakan bahwa daerah Deli telah menjadi bagian dari kekuasaan Belanda. Kampung Medan pun berada di bawah kekuasaan Belanda, meskipun pada awalnya, Belanda belum sepenuhnya mengendalikan Tanah Deli secara fisik.


Pada tanggal 30 November 1918, Sultan Deli menyerahkan wilayah Kota Medan kepada Gemeente (Kota Praja) Medan. Hal ini menjadikan Kota Medan sebagai bagian dari wilayah yang langsung diperintah oleh Hindia Belanda, dengan Wali Kota Baron Daniel Mac Kay memegang kendali.


Secara historis, perkembangan Kota Medan dimulai dengan penunjukan Medan sebagai ibu kota Deli dan sebagai pusat perdagangan, serta berkembang menjadi pusat pemerintahan yang berperan penting hingga saat ini. Selain itu, Kota Medan juga menjadi salah satu kota di Provinsi Sumatra Utara.


  1. Kota Medan pada Masa Penjajahan Jepang

Pada tahun 1942, penjajahan Belanda di Sumatra berakhir dengan kedatangan tentara Jepang. Tentara Jepang mendarat di Sumatra, dengan pangkalan utama mereka berada di Shonato, pada tanggal 12 Maret 1942. Pasukan Jepang yang datang ke Kota Medan membawa semboyan bahwa mereka membantu bangsa Asia karena dianggap sebagai saudara tua, sehingga mereka disambut dengan baik oleh penduduk setempat.


Peralihan kekuasaan dari Belanda ke Jepang memunculkan ketegangan di Kota Medan. Orang pribumi memanfaatkan momen ini untuk melampiaskan dendam terhadap penjajah Belanda. Dengan kedatangan Jepang, situasi pemerintahan di Kota Medan berubah, dari sistem "Gemeente Bestuur" Belanda menjadi "Medan Sico" (Pemerintahan Kotapraja) Jepang.


Kekuasaan Jepang semakin menguat di Kota Medan, dan mereka berhasil membuat masyarakat lebih patuh terhadap pemerintahan mereka. Semboyan saudara tua, yang pada awalnya hanyalah semboyan, tidak mampu menggagalkan upaya Jepang untuk menguasai seluruh Nusantara.


Di sebelah timur Kota Medan, di Marindai saat ini, Jepang mendirikan Kengrohositai sebagai pertanian kolektif. Di daerah Titi Kuning, dekat Lapangan Terbang Polonia, Jepang membangun landasan pesawat tempur.


  1. Kota Medan Menyambut Kemerdekaan Republik Indonesia

Pada tahun 1945, persiapan untuk Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia bergema di seluruh Indonesia, termasuk di Kota Medan. Meskipun media komunikasi pada saat itu sangat terbatas, penduduk Kota Medan mendengar berita tentang pemboman atom di Hiroshima, yang menandakan kekalahan Jepang.


Ketika Jepang menyadari kekalahannya, mereka segera menghentikan berbagai kegiatan, termasuk pembinaan dan pengerahan pemuda. Pada tanggal 20 Agustus 1945, kegiatan ini secara resmi dibubarkan oleh penguasa Jepang di Sumatera Timur, Tetsuzo Nakashima, yang mengumumkan kekalahan Jepang.


Tanggal 17 Agustus 1945, semangat Kemerdekaan mencapai Kota Medan, meskipun dengan kendala media komunikasi yang sederhana. Pada tanggal 1 September 1945, sekelompok kecil tentara sekutu, yang dipimpin oleh Letnan I Pelaut Brondgeest, tiba di Kota Medan dan mendirikan kantor di Hotel De Boer (sekarang Hotel Dharma Deli). Tugas mereka adalah mempersiapkan pengambilalihan kekuasaan dari tangan Jepang.


Dengan semangat perjuangan para pemuda dan dorongan rakyat, Kota Medan dan sekitarnya aktif dalam persiapan menuju kemerdekaan. Tokoh-tokoh pemuda seperti Achmad Tahir, Amir Bachrum Nasution, Rustam Efendy, Edisaputra, Roos Lila, A. Malik Munir, Gazali Ibrahim, Bahrum Djamil, Muhammad Kasim Jusni, dan Marzuki Lubis berperan penting dalam menyuarakan kemerdekaan.


  1. Julukan "Medan Paris van Sumatra

Ketika Kota Medan dikenal sebagai "Paris van Sumatra," tidak dimaksudkan bahwa Medan adalah tiruan kota Paris. Sebaliknya, istilah ini berasal dari kata "Deliaan," yang digunakan oleh orang Belanda untuk merujuk pada tuan kebun Belanda di Deli. Para Belanda yang berada di Deli merasa bahwa Kota Medan memiliki semangat, keberanian, dan kerja keras yang sama dengan kota Paris yang mereka bangun dengan dana mereka sendiri.


Karenanya, pengaruh Belanda terlihat di setiap sudut Kota Medan. Bangunan-bangunan berarsitektur art deco yang dicat putih, monumen-monumen yang beragam, taman-taman, jalan-jalan, dan simbol-simbol di ruang publik Kota Medan semuanya terkait dengan perkebunan. Kota ini memancarkan citra Eropa dan kebanggaan akan warisan mereka sebagai Deliaan.


  1. Peninggalan Sejarah Bangunan Bergaya Belanda di Medan

Kota Medan adalah rumah bagi berbagai bangunan bersejarah dengan arsitektur khas Belanda. Gaya Eropa klasik terlihat jelas dalam arsitektur kota ini, yang didominasi oleh cat putih yang membuatnya tampak anggun dan elegan. Contoh bangunan bersejarah ini termasuk Gedung Balai Kota Lama, Menara Air Tirtanadi (ikon kota), Kantor Pos Medan, Jembatan Titi Gantung, Bank Indonesia, Gedung London Sumatra, dan rumah Tjong A Fie di Kesawan.


Kawasan Kesawan di Kota Medan juga memiliki banyak bangunan tua yang masih berdiri kokoh, termasuk PT London Sumatra dan ruko-ruko tua. Saat ini, ruko-ruko tua tersebut telah bertransformasi menjadi pusat jajanan makanan yang ramai pada malam hari.


Dengan kekayaan sejarahnya yang kaya dan warisan arsitektur Belanda yang indah, Kota Medan adalah kota yang menyimpan banyak kisah dan keindahan untuk dinikmati oleh generasi sekarang dan masa depan.


Kota Medan, dengan sejarah yang beragam dan cerita-cerita menarik, telah menjadi pusat perkembangan dan kegiatan ekonomi di Sumatra Utara. Dengan kekayaan alamnya dan posisi strategisnya, Kota Medan terus berkembang menjadi salah satu kota metropolitan terbesar di Indonesia. Sejarah dan warisan budayanya masih hidup dalam keseharian warganya, menjadikan Kota Medan kota yang unik dan menarik untuk dijelajahi.


Setelah Kamu mengeksplorasi situs-situs bersejarah ini dan merasakan sejarah yang mengagumkan di Kota Medan, saatnya untuk mencicipi oleh-oleh khasnya, yaitu Bolu Stim Menara. Bolu stim adalah salah satu kudapan tradisional Medan yang sangat populer.


Bolu stim terbuat dari bahan-bahan berkualitas sehingga menghasilkan rasa dan teksturnya super lembut, manis, dan lezat membuatnya sangat istimewa. Dengan aroma yang harum dan tampilan yang menggiurkan, bolu stim adalah camilan yang sempurna untuk mengakhiri harimu di Medan.

ARTIKEL TERKAIT

cart icon
whatsapp icon